
Nasional – Polisi menemukan enam hektare lahan mangrove dilindungi di pesisir Pantai Kuri Lompo, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dibabat dan dijadikan tambak ikan oleh seorang warga. Warga itu mengakui melakukan penebangan pohon mangrove itu karena berada di lahannya yang bersertifikat hak milik.
Lahan kawasan ekosistem mangrove dilindungi seluas enam hektare yang terletak di pesisir pantai Kuri Lompo, Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu itu telah rusak seusai dibabat oleh warga setempat bernama Ambo Masse (64).
Di lahan kosong yang menjadi bekas pembalakan pohon mangrove itu pun kemudian dibuat menjadi tambak ikan. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Maros juga turut membangun jalan penghubung antara Dusun Kuri Lompo ke Dusun Kuri Caddi di bekas lahan pembabatan mangrove.
Kasat Reskrim Polres Maros Iptu Aditya Pandu mengatakan, kejadian itu kini tengah disidik oleh Unit Tipidter Satreskrim Polres Maros setelah tiga bulan mengusut kasus pengrusakan mangrove tersebut.
Dari hasil pemeriksaan terhadap sejumlah saksi termasuk terduga pelaku, lahan pantai seluas enam hektare itu ternyata memiliki sertifikat hak milik atas nama terduga pelaku Ambo Masse.
“Jadi berawal dari informasi masyarakat yang kami dapatkan bahwa telah terjadi pengerusakan kawasan mangrove kemudian kami tinjau ke TKP melakukan serangkaian penyelidikan selama tiga bulan,” ujarnya pada Rabu (5/2/2025).
Dari keterangan saksi ahli dari Dinas Lingkungan Hidup Pemkab Maros menyatakan pembabatan pohon mangrove jenis api-api dilakukan di enam hektar lahan ekosistem kawasan mangrove di pantai Maros.
Modus pembabatan itu dengan cara dipotong dengan gergaji mesin lalu tanah kosong itu dibuat empang.
“Kami juga telah berkoordinasi dan memeriksa saksi ahli lingkungan hidup yang menyatakan bahwa benar telah terjadi pengrusakan mangrove jenis api-api seluas kurang lebih enam hektare di kawasan pesisir menggunakan peralatan senso (gergaji mesin) bertujuan untuk membuat tambak atau empang,” tuturnya.
Pihak kepolisian pun terus melakukan pengembangan dan merampungkan berkas penyidikan terhadap kasus pembabatan mangrove seluas enam hektar tersebut. Polisi juga telah menyita sebanyak dua unit gergaji mesin yang digunakan untuk membabat pohon mangrove.
“Jadi adapun tahapannya saat ini sudah masuk ke tahapan penyidikan,” ungkapnya.
Sementara menurut terlapor sekaligus terduga pelaku pembabatan mangrove, Ambo Masse, dirinya memiliki sertifikat hak milik (SHM) tanah di pantai Kuri Lompo pada 2009 setelah dibeli dari seseorang pemilik sebelumnya.
“Kalau saya berani menebang atau merintis karena ada sertifikatnya, saya tidak tahu dilarang. Saya tidak tahu, maaf mulai dari ujung kaki sampai di ujung kepala saya minta maaf,” ujarnya.
Kemudian pemerintah menetapkan lahannya itu sebagai wilayah ekosistem mangrove dilindungi pada 2012. Padahal saat pengurusan SHM, pihak desa hingga kecamatan telah menyetujui bahwa wilayah ini merupakan lahan miliknya.
“Jadi saya memohon ke pemerintah pertanahaan. Saya mengurus ke kepala desa dan kepala dusun, dia akui ini lahan saya,” tuturnya.
Ambo Masse mengungkapkan awalnya Pemerintah Kabupaten Maros yang awalnya melakukan pembabatan di lahannya untuk dijadikan jalanan hingga ia pun ikut melakukan penebangan.
“Saya tidak tahu menulis, tidak tahu membaca. Bukan saya, tetapi pemerintah yang duluan. Saya kaget didatangi pak polisi, saya bilang kalau senso (gergaji mesin) ada pak, karena saya beli tetapi saya tidak tahu mensenso,” tandasnya menanggapi pembabatan mangrove di pantai Maros tersebut.