
Nasional – Intensitas hujan tinggi pada awal Maret 2025 menyebabkan banjir dan longsor di sejumlah wilayah. Sebanyak 14 kecamatan di kabupaten dan tujuh kecamatan kota terdampak banjir Bekasi, mengakibatkan sekitar 52.000 jiwa terkena dampaknya.
Menurut Guru Besar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Suratman, banjir Bekasi bukan hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi, tetapi juga akibat alih fungsi lahan di daerah resapan air.
“Penyebab lainnya adalah perubahan muka bumi. Pertumbuhan penduduk yang padat menyebabkan lahan resapan air berkurang akibat pembangunan yang tidak bertanggung jawab di wilayah konservasi dan perlindungan air. Akibatnya, air hujan tidak terserap dan berujung pada banjir,” jelas Suratman.
Ia juga menyoroti pembangunan yang masif di daerah aliran sungai (DAS), yang menghambat pergerakan alami air. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya penataan ruang yang tepat di bantaran sungai agar air memiliki tempat tersendiri dan tidak meluap ke pemukiman.
“Lahan yang seharusnya menjadi ruang air jangan digunakan untuk permukiman baru. Beri ruang bagi air, misalnya dengan membangun danau kota atau bendungan,” tambahnya terkait banjir Bekasi.
Sebagai contoh pengelolaan air yang efektif, Suratman menyoroti sistem manajemen air terpadu di Belanda. Negara tersebut memiliki pengelolaan pembangunan yang ketat di sekitar sungai, membangun tanggul, menghitung debit air, serta rutin mengeruk endapan sungai.
Di Indonesia, Suratman menilai normalisasi sungai harus diperkuat guna mengurangi risiko banjir. Selain itu, perlu ada penerapan konsep one river, one plan, one management, yaitu pengelolaan terpadu dengan memperhatikan manajemen lahan, vegetasi, air, dan manusia.
“DAS harus dikelola dengan baik agar lebih tangguh menghadapi hujan. Air adalah berkah, bagian dari alam. Kita perlu menjaga keseimbangan dan hidup harmonis dengan lingkungan,” tutupnya.
Banjir Bekasi terjadi bukan hanya akibat faktor cuaca, tetapi juga disebabkan oleh kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan. Perencanaan kota yang baik, pengelolaan daerah aliran sungai, serta penerapan teknologi mitigasi bencana sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini di masa depan.