
Berita Bola – Martin Odegaard pernah menjadi sensasi remaja yang menghebohkan Eropa. Namun, perjalanan kariernya tidak selalu berjalan mulus. Ia direkrut Real Madrid dengan status bintang muda penuh harapan. Namun, ia gagal menemukan tempatnya di tim utama Los Blancos.
Setelah serangkaian masa peminjaman, Odegaard akhirnya bergabung dengan Arsenal. Di sana, ia justru tumbuh menjadi pemimpin sejati dan kapten yang disegani. Mengapa Odegaard gagal di Madrid namun justru berkembang di Arsenal? Kisahnya penuh pelajaran dan tekad luar biasa.
Martin Odegaard mencuri perhatian sejak usia 10 tahun. Ia memiliki kontrol bola dan visi permainan yang luar biasa. Pada usia 13 tahun, ia mulai berlatih dengan tim utama Stromsgodset. Meski bertubuh kecil, kualitas tekniknya sudah menonjol.
“Dia pemain yang sangat dewasa di usia sangat muda. Dia melihat permainan seperti pemain berusia 25 tahun,” ujar Ronny Deila, pelatih Stromsgodset saat itu.
Ketika berusia 15 tahun, ia menjadi pemain termuda di liga Norwegia. Tak lama kemudian, ia juga mencetak gol dan memecahkan rekor lainnya. Lebih dari 30 klub Eropa tertarik merekrut Odegaard. Ia akhirnya memilih Real Madrid saat baru berusia 16 tahun.
Transfernya dilaporkan bernilai 3 juta euro (sekitar Rp53 miliar). Ia langsung diperkenalkan kepada media dunia sebagai bintang masa depan.
“Kami tidak pernah melihat pemain seusianya dengan kecerdasan seperti itu,” puji Zinedine Zidane dalam salah satu konferensi pers, meski kemudian Odegaard lebih sering bermain di bawah Zidane di Real Madrid Castilla.
Namun, statusnya di tim B Real Madrid membuatnya terjebak di antara dua dunia. Ia tidak sepenuhnya menjadi bagian tim utama atau tim cadangan.
Beberapa pelatih Madrid kurang memberi kepercayaan pada Odegaard. Bahkan, Carlo Ancelotti pernah menyebut keterlibatannya di tim utama karena permintaan khusus dari manajemen klub.
“Presiden klub menginginkan dia bermain. Tapi saat itu saya merasa dia belum siap,” ujar Ancelotti dalam wawancara 2022.
Odegaard kesulitan menunjukkan kualitasnya karena minimnya kesempatan bermain. Ia lebih sering tampil di tim Castilla atau dipinjamkan ke klub lain.
Meski begitu, ia tetap menjaga fokus dan semangatnya. Mental yang kuat dan dedikasi tinggi membuatnya terus bertahan.
Odegaard menemukan kembali performanya saat dipinjamkan ke Heerenveen dan Vitesse. Ia bahkan dinobatkan sebagai pemain terbaik di Vitesse.
“Itu momen ketika saya belajar menjadi pemain profesional sejati. Liga Belanda membantu saya berkembang,” ungkap Odegaard dalam wawancara dengan The Athletic.
Pada 2019, ia bermain impresif bersama Real Sociedad. Salah satu momennya yang paling diingat adalah saat mencetak gol ke gawang Real Madrid.
Klub ingin memperpanjang masa pinjamannya. Namun, Real Madrid kembali memanggilnya pulang untuk masuk tim utama.
Sekembalinya ke Madrid, Odegaard masih belum mendapat tempat utama. Cedera dan persaingan ketat membuatnya sulit bersinar.
Ia hanya tampil sembilan kali pada paruh pertama musim. Odegaard pun memilih mencari waktu bermain di tempat lain.
“Saya tahu saya harus membuat keputusan. Saya ingin berada di klub yang percaya pada saya,” kata Odegaard kepada Sky Sports.
Keputusan untuk bergabung dengan Arsenal pun menjadi titik penting. Di sinilah kariernya mulai naik.
Odegaard langsung menyatu dengan filosofi Arsenal. Ia tampil gemilang dalam masa peminjamannya dan dibeli permanen seharga 30 juta pounds (sekitar Rp601 miliar).
Manajer Arsenal, Mikel Arteta, memberinya peran utama di lini tengah. Ia juga mendapat kepercayaan sebagai kapten tim.
“Martin mewakili semua yang kami inginkan di Arsenal: cerdas, rendah hati, dan selalu ingin berkembang,” puji Arteta dalam sesi wawancara usai menjadikannya kapten.
Kini, Odegaard tampil konsisten dan menjadi panutan. Ia tidak hanya menjadi bintang, tetapi juga pemimpin sejati.