
Nasional – Aktivitas pertambangan tanpa izin atau tambang ilegal masih marak terjadi di Kalimantan Tengah (Kalteng), memicu kerusakan lingkungan berskala besar.
Menyikapi situasi ini, DPRD Kalteng mendorong percepatan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) agar aktivitas tambang rakyat bisa berjalan legal, aman, dan terpantau.
Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalteng, Bambang Irawan, menilai kondisi ini tak bisa dibiarkan terus-menerus. Ia menyebut pemerintah harus segera merumuskan kebijakan berbasis kajian komprehensif untuk menetapkan zona WPR.
“Kami ingin ada wilayah-wilayah khusus WPR, dari situ dapat dipastikan standar-standar keselamatan pada aktivitas pertambangan yang dilakukan warga menjadi terjamin,” ujar Bambang di Kantor DPRD Kalteng, Rabu (7/5/2025).
Menurut Bambang, banyak warga menggantungkan hidup pada aktivitas tambang. Namun tanpa regulasi, mereka terjebak dalam kondisi kerja yang berbahaya dan tidak manusiawi.
“Kita harus memberikan ruang bagi masyarakat bisa beraktivitas di bidang pertambangan. Kami sedang menyusun raperda agar pekerja di bidang itu terlindungi,” tuturnya.
Ia juga menyinggung standar ganda dalam praktik WPR, terutama soal pelarangan penggunaan alat berat. Bambang mengusulkan agar penggunaan alat berat di WPR diperbolehkan, namun dengan ketentuan teknis yang ketat.
“Hal-hal seperti itu tidak seharusnya dianggap terlarang. Tapi penggunaannya harus diatur,” tambahnya.
Selain tambang ilegal rakyat, Bambang juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap perusahaan tambang besar yang masih sering mengabaikan keselamatan kerja dan hak-hak masyarakat sekitar.
“Beberapa perusahaan belum memastikan hak-hak masyarakat sekitar dan keselamatan pekerjanya. Ini juga menjadi perhatian kami,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalteng, Joni Harta, mengungkapkan bahwa setidaknya 41.000 hektare lahan di Kabupaten Katingan telah mengalami kerusakan akibat aktivitas PETI.
“Objek lahan yang rusak akibat tambang ilegal tidak hanya terjadi di Katingan, tapi juga perbatasan Gunung Mas-Katingan dan Desa Tumbang Miri,” jelas Joni.
Ia menyebut pelaku tambang ilegal terdiri dari warga lokal dan cukong berkantong tebal. Namun, operasi penindakan tidak mudah dilakukan karena luasnya area dan keterbatasan anggaran.
“Kami sudah mengusir beberapa alat berat dari lokasi, tapi penegakan hukum tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kami tidak memiliki anggaran cukup,” katanya.
Selain itu, koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten juga masih menjadi tantangan, terutama dalam soal pengawasan dan pemulihan lingkungan.
“Tidak bisa hanya dengan surat, kegiatan pengawasan harus direncanakan secara matang dan melibatkan pemerintah daerah,” tandasnya.