
Nasional – Empat mahasiswa Universitas Lampung (Unila) korban kekerasan saat pendidikan dasar (diksar) organisasi Mahasiswa Ekonomi Pencinta Lingkungan (Mahapel) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) akhirnya memutuskan menempuh jalur hukum. Mereka berharap kepolisian segera mengusut tuntas dugaan kekerasan yang mereka alami selama mengikuti kegiatan diksar.
Salah seorang korban, Muhammad Arnando Al Faaris, bersama tiga rekannya, yakni Abdi Muhariyansyah, Icen Amsterly, dan Syuhada Ul Auliya telah menunjuk kuasa hukum dari sebuah kantor bantuan hukum di Bandar Lampung.
Langkah ini dilakukan untuk menuntut keadilan dan menindak para pelaku kekerasan sesuai hukum yang berlaku.
Menurut kuasa hukum Yosef Friadi, kekerasan yang dialami para korban saat diksar Mahapel FEB Unila bukan hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma mendalam.
Bahkan, Faaris mengalami pecah gendang telinga yang menyebabkan gangguan pendengaran serius. Tidak hanya itu, para korban juga mengalami tekanan psikologis akibat intimidasi dari senior dan pihak fakultas yang berusaha menutupi insiden tersebut.
“Para korban sudah memberikan kuasa kepada kami untuk mengawal kasus ini hingga proses hukum berjalan. Kami juga akan menggali keterangan dari orang tua almarhum Pratama Wijaya Kusuma,” ujar Yosef, Sabtu (31/5/2025).
Pratama Wijaya Kusuma, mahasiswa angkatan 2024 jurusan Bisnis Digital FEB Unila, menjadi korban tewas dalam insiden diksar tersebut.
Ia mengikuti kegiatan diksar Mahapel FEB Unila yang digelar di Desa Talang Mulya, Kabupaten Pesawaran, Lampung, pada 10–14 November 2024.
Dalam kegiatan itu, Pratama diduga mengalami kekerasan fisik brutal dari para senior, termasuk ditendang di bagian perut dan dada serta dipaksa meminum spiritus.
Seusai diksar, kondisi kesehatan Pratama memburuk. Ia sempat dirawat intensif di RSUD Abdul Moeloek, Bandar Lampung, sebelum akhirnya meninggal dunia pada 28 April 2025.
Hasil pemeriksaan medis menyebutkan adanya penggumpalan darah di kepala serta luka-luka di leher, perut, dan lengan korban.
Pihak kuasa hukum kini berencana melaporkan seluruh kejadian tersebut ke Polda Lampung. Mereka juga berupaya membangun komunikasi dengan keluarga almarhum Pratama agar kasus ini dapat dibuka secara terang benderang di depan hukum.
Hingga Sabtu (31/5/2025), pihak keluarga almarhum Pratama Wijaya Kusuma belum memberikan pernyataan resmi kepada media karena masih dalam suasana duka.
Kasus kekerasan diksar Mahapel Unila ini mencerminkan potret kelam dunia kampus, yang seharusnya menjadi tempat pembinaan karakter, bukan tempat lahirnya kekerasan sistematis. Langkah hukum yang ditempuh para korban diharapkan menjadi pintu masuk untuk membongkar praktik kekerasan dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.