
Nasional – Pegawai Bank Negara Indonesia (BNI), Irfandi, terlibat dalam jaringan peredaran uang palsu yang diproduksi di UIN Alauddin Makassar.
Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan kasus uang palsu yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan, Rabu (2/7/2025).
Dalam sidang pukul 16.00 WITA yang mendudukkan Annar Salahuddin Sampetoding sebagai terdakwa, Irfandi hadir sebagai saksi mahkota.
Ia merupakan salah satu dari 15 terdakwa dalam perkara yang mengejutkan publik sejak Desember 2024.
“Saya sebelumnya tidak mengenal terdakwa, saya bertemu terdakwa di Polres Gowa saat kami diamankan,” kata Irfandi di hadapan majelis hakim.
Irfandi mengaku menjadi perantara dalam transaksi antara dua terdakwa lainnya, Mubin Nasir dan Kamarang Daeng Ngati.
Kamarang membeli uang palsu senilai Rp 18 juta dengan membayar Rp 8 juta uang asli setelah Irfandi mengetes kualitasnya menggunakan mesin penghitung uang dan alat sinar ultraviolet.
“Saya menjadi perantara antara Mubin Nasir dengan Kamarang,” ucapnya.
Sebagai imbalan, Irfandi menerima uang palsu senilai Rp1 juta, yang diakuinya telah dibelanjakan di sejumlah warung.
Majelis hakim menegur Irfandi atas perbuatannya, mengingat posisinya sebagai pegawai bank yang seharusnya paham hukum dan keamanan uang.
“Anda mendapat upah 1 juta uang palsu dari Mubin, uang palsu tersebut dikemanakan dan apakah anda tidak sadar bahwa ini salah dan melawan hukum padahal anda ini adalah pegawai bank,” tanya hakim.
“Uangnya saya sudah belanjakan dan waktu itu saya sadar bahwa yang saya lakukan adalah salah dan sekarang sangat menyesal,” jawab Irfandi.
Kasus ini menyeret total 15 terdakwa, termasuk ASN, pegawai bank, dan staf kampus UIN. Mereka diadili dalam sidang terpisah dengan agenda maraton.
Produksi uang palsu dilakukan di Kampus 2 UIN Alauddin Makassar, Jalan Yasin Limpo, Gowa, menggunakan mesin canggih yang mampu mencetak hingga triliunan rupiah.
Cetakan tersebut bahkan diklaim bisa lolos dari mesin hitung uang dan X-ray.
Sidang dipimpin oleh hakim ketua Dyan Martha Budhinugraeny, dengan hakim anggota Sihabudin dan Yeni. Jaksa penuntut umum adalah Basri Bacho dan Aria Perkasa Utama.