
Kesehatan – Penggunaan rokok di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Menurut World Population Review, April 2025, Indonesia masih berada di peringkat kelima sebagai negara dengan persentase perokok tertinggi di dunia, yang mencapai 38,7 persen.
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, prevalensi perokok aktif di Indonesia terus meningkat.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kemenkes RI menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya perokok berusia 10-18 tahun.
Yayasan Kanker Indonesia (YKI) bersama Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) mengingkatkan bahaya merokok baik konvensional maupun elektrik terhadap kanker.
Ketua POI Pusat, Dr. dr. Cosphiadi Irawan, SpPD, KHOM mengatakan bahwa tembakau adalah ancaman nyata terhadap kesehatan, terutama kanker.
“Setiap hisapan rokok adalah langkah menjauh dari hidup sehat, dan setiap tindakan untuk berhenti merokok adalah investasi bagi masa depan yang lebih baik,” kata Cosphiadi dalam keterangan persnya dalam memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2025 yang jatuh pada Sabtu, 31 Mei 2025.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setiap hari, lebih dari 22.000 orang meninggal akibat penggunaan tembakau atau paparan asap rokok.
Menurut WHO, tembakau yang menjadi bahan baku rokok mengandung lebih dari 7.000 zat kimia, dengan 70 di antaranya bersifat karsinogen, artinya, dapat memicu pertumbuhan sel kanker.
Ketua Umum YKI Prof DR Dr Aru Wisaksono Sudoyo, SpPd, KHOM, FINASIM, FACP mengungkapkan bahwa bahan baku rokok ini merupakan pemicu berbagai jenis kanker.
“Tembakau merupakan faktor risiko utama berbagai jenis kanker, termasuk kanker paru-paru, kanker mulut, kanker kandung kemih, kanker hati, kanker serviks, dan kanker ovarium,” ujar Aru saat membalas pertanyaan Kompas.com pada Sabtu (31/5/2025) melalui email.
Hubungan kegiatan merokok dan risiko kanker telah didukung oleh penelitian. Salah satu penelitian yang disebutkannya adalah penelitian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam jurnal berjudul “Dampak Merokok terhadap Kematian Dini Akibat Kanker di Indonesia” (2020).
Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa estimasi risiko hilangnya satu tahun kehidupan (years of life lost/YLL) dari perokok jauh lebih tinggi akibat kanker dibanding yang bukan perokok.
Studi epidemiologi di Indonesia ini menggunakan metode Years of Life Lost (YLL) untuk mengukur dampak kematian dini akibat kanker yang disebabkan oleh merokok.
Aru menjelaskan bahwa hasil penelitian itu menunjukkan bahwa kanker paru-paru memiliki YLL tertinggi, diikuti oleh kanker hati dan kanker kandung kemih.
Merujuk data Global Cancer Observatory (Globocan) 2022, kanker paru-paru dicatat menjadi penyebab kematian tertinggi akibat kanker di Indonesia, jumlahnya sampai lebih dari 34.000 jiwa.
Sementara, jika secara global, angka kematian akibat kanker paru-paru di dunia mencapai 1.817.469 jiwa. “WHO mencatat bahwa dua pertiga kematian akibat kanker paru-paru di dunia disebabkan oleh merokok,” terang Aru.
“Data ini menunjukkan betapa seriusnya dampak tembakau terhadap kesehatan masyarakat,” tandasnya.